View project Read more


Dulu..hand phone/mobile phone/hp/hape adalah barang mewah, ingat waktu jaman mobile phone masih sebesar batu bata. Rasanya cool banget bawa-bawa mobile phone walaupun pasti susah disimpannya. Sekarang dengan ukuran seperti sekarang ini hape bukan barang mewah lagi, mudah dibawa kemana-mana, operatornya banyak dan harganya murah. Sekarang ini siapa saja bisa punya hape, sampai-sampai ada iklan "hari gini nggak punya hand phone???". Adalah memalukan kalau sampai nggak punya hand phone. Ojeg saja sekarang ini bisa dipesan via hape bahkan di Medan kabarnya 'betor' (becak motor) pun dipesan lewat hape. Pengemudi ojeg & betor ini masing-masing punya hape untuk berhubungan dengan pelanggannya.
Sekarang ini rata-rata tiap orang minimal punya 1 hape bahkan ada yang punya 2-3 buah. Bayangkan ada berapa penduduk Indonesia ini, lebih luas lagi bayangkan ada berapa penduduk dunia ini, masing-masing punya 1-2 buah hape. Berapakah jumlah hape beredar di dunia ini? Belum lagi tingkat perputarannya lumayan cepat. Selalu saja ada hape keluaran terbaru.
Kemanakah semua hape ini akan berakhir apabila sudah tak terpakai? Didaur ulang atau dibuang begitu saja?
Polusi lagi deh...
8 comments


Menjelang Pemilu 2009 ini coba lihat sekitar kita, ada spanduk, baliho, poster, selebaran, dan banyak lagi. Isinya ada mulai dari ajakan, mohon doa restu, sampai peringatan jangan salah pilih. Masalahnya semua spanduk, baliho, poster dan lain sebagainya itu dipajang bukan pada tempat yang tepat. Asal pasang. Yang penting kelihatan, tidak peduli bikin sumpek mata! Polusi visual! Bertebaran di sepanjang jalan saingan dengan iklan (iseng-iseng coba perhatikan gaya calon wakil rakyat kita itu di poster ataupun selebaran..semuanya sama! sengihnampakgigi).
Sampai-sampai pohonpun dikorbankan, tak jarang poster-poster itu dipaku ke batang pohon. Belum lagi bendera-bendera parpol pendukung calon wakil rakyat kita ini nangkring dengan megahnya di puncak-puncak pohon itu.

Bagaimana ini..belum jadi wakil rakyat saja anda-anda ini sudah bikin susah..

Silahkan ber-kampanye tapi perhatikan tempatnya donk! Jangan cuma mau 'suara' kami tapi hargai juga 'mata' kami..
2 comments


Semenjak heboh 'kartun nabi' yang bermuatan pelecehan agama itu, kartun jadi naik daun. Iseng-iseng searching 'kartun' pakai Mr. Google maka yang ditampilkan semuanya bermuatan 'kartun nabi' itu. Luar biasa!
Itulah makanya kartun bisa jadi dikatakan pedang bermata dua. Jika digunakan oleh pendekar kartun berwatak baik maka jadilah kartun yang bisa menghibur dan membuat dunia tersenyum. Tapi kalau jatuh ke tangan pendekar kartun berwatak jahat maka jadilah kartun itu menaikkan temperatur emosi dan mengundang hujatan plus makian. Ujung-ujungnya..bisa konflik SARA.

Jadi..wahai saudara sekartunis, berhati-hatilah menggunakan kartunmu.
Pergunakan sebaik-baiknya ELEMEN KEDUA-MU (Lebih jelasnya silahkan baca posting sebelumnya sengihnampakgigi)

Salam kartun
15 comments


Ooo..ternyata begitu ya anatomi kerja kartunis.. Kartunis itu memang manusia unik.
Silahkan dibaca dan direnungkan.


Diambil dari internet dan diolah kembali menggunakan Photoshop


MEMBEDAH ANATOMI KERJA KARTUNIS

Oleh Darminto M Sudarmo

SEMINGGU sebelum acara diskusi kartunis (Lektur Terbuka: Kartunis dan Tugasnya oleh GM Sudarta dan Lat) di Taman Ismail Marzuki, 12 Juli 2003, saya didaulat kartunis Pramono (Ketua Umum Pakarti-Persatuan Kartunis Indonesia) agar bersedia memandu acara diskusi tersebut, disponsori oleh Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Bagaimana mungkin saya dapat menolak "perintah" beliau, salah satu tokoh kartunis senior negeri ini, apalagi bila itu ada kaitannya dengan sebuah momentum yang menarik; yakni bertemunya dua figur maestro kartunis Indonesia dan Malaysia, GM Sudarta dan Lat, yang seingat saya baru pertama kali dipertemukan dalam sebuah forum di Indonesia.

Gairah budaya pun semakin tumbuh, apalagi bila mengingat Indonesia sedang dilanda berbagai arus kepentingan yang membuat pening kepala, geli hati sekaligus jengkel karena UU Pilpres, Susduk, Hak DPR untuk menyandera, dan lain-lain yang begitu naif, ternyata bisa terjadi dan memang benar-benar terjadi.

Saya pun bersiap-siap mengumpulkan joke-joke "maut" agar dalam pelaksanaan diskusi dapat diarahkan ke suasana yang lebih "pedas" tapi segar dan eliminatif. Harapan saya, kendati hanya berlangsung selama dua jam saja, pertemuan dua jagoan itu bisa menjadi katarsis bagi semua yang hadir. Sejenak melupakan proses sejarah yang gerah, yang terjadi di negeri ini. Tambahan lagi, diskusi yang bertajuk : Kartunis dan Tugasnya bukankah tergolong tema ringan dan pasti akan penuh dengan canda dan derai tawa. Bayangan lucu yang terproyeksi dalam kepala saya, pasti para kartunis akan menjawab sambil berseloroh, "Tugas kartunis apa lagi? Tentu saja mencari nafkah buat keluarganya". Hadirin yang kaget akan merespons jawaban itu dengan gelak tawa dan tepuk tangan; betapa mewahnya bila suasana seperti itu bisa terjadi.

Logika seperti ini pula yang pernah dipakai Arswendo Atmowiloto, ketika menangkis pertanyaan secara ndugal, mengapa gerakan separatisme di Indonesia marak, bukan saja di Aceh, Maluku tapi juga di Papua? Jawaban Arswendo, PDI-P-lah yang harus bertanggung jawab, jelas-jelas Indonesia sudah lama merdeka, mengapa partai itu selalu meneriakkan yel-yel, "Merdekaaaa… Merdekaaaa!!!"

Arswendo memang Arswendo. Untuk mengamankan pernyataannya yang rada ndugal itu, dia berlindung di balik predikatnya sebagai seorang guyonis. Guyonis? Istilah gendeng apa pula ini? Tapi, secara gramatika, tidak salah. Guyon itu kata benda dan akhiran is, tak mau kalah dengan humoris, kartunis, lengkap kan edan-edanannya?

Maka, seperti yang sudah dijadwalkan, diskusi tentang kartun dan kartunis itu pun terjadilah…!

GM Sudarta, seperti yang sudah diduga, tampil piawai sebagai story teller yang memikat, runtut, terutama ketika menyampaikan "makalah"-nya berupa tumpukan gambar karikatur mahasiswa-mahasiswa Bandung pada tahun-tahun sekitar 1965-an, sesekali muncul leluconnya yang inspiratif, dan tetap dikemas dalam bingkai elegan. Lat yang tampaknya pendiam dan angker, setelah berbual-bual (berbicara) secara lugas, apa adanya, barulah muncul sepenggal demi sepenggal leluconnya. Hampir semua yang dia sampaikan berdasar pengalaman nyata. Namun, disusun secara bersilang tumpang sehingga setiap terjadi persinggungan logika, selalu muncul sesuatu yang mengagetkan dan menimbulkan tawa.

Persoalannya kemudian, diskusi tumbuh tidak sekadar mengobral tawa dan katarsis. Joke-joke maut yang sudah saya siapkan pun akhirnya tak relevan dimunculkan karena suasana telah berkembang sebagaimana yang dikehendaki takdir. Inti dari "makalah" GM Sudarta yang menggambarkan keberanian para kartunis (mahasiswa) saat itu yang demikian telak dan langsung membidik sasaran atau obyek, yakni Bung Karno, sebagai simbol rezim Orde Lama dan mendukung secara euforia kelahiran Orde Baru, pada akhirnya membuat para kartunis itu harus terkecoh, karena rezim yang baru pun, secara pelan tapi pasti mulai memasung kebebasan yang semula dijanjikan semanis madu itu. Pesta demokrasi pun usai sejak awal tahun 1980-an hingga Rezim Soeharto tumbang, tahun 1998.

Fakta itu mengingatkan saya pada buku Catatan Seorang Demonstran karya Soe Hok Gie.
Salah satu pernyataan Soe Hok Gie, yang juga hasil mengutip dari intelektual asing, (maaf, saya tak ingat namanya), seorang cendekiawan dilahirkan untuk memusuhi rezim yang korup; setelah rezim yang korup tumbang, maka akan muncul rezim baru. Rezim baru tak lama kemudian juga korup, sang cendekiawan pun memusuhi rezim yang baru. Demikian seterusnya. Maka takdir seorang cendekiawan akan selalu sendirian dan selalu sendirian dalam rezim yang bagaimana pun.

Sementara itu Lat banyak bercerita tentang dirinya yang tak berkantor di mana-mana, tetapi bekerja di rumah sebagai kartunis untuk harian New Straits Times, Malaysia. Seminggu tiga kali. Sebulan rata-rata 12 karikatur. Gambar-gambar itu juga dikirim via e-mail, sehingga Lat tak perlu hadir di kantor koran tersebut. Setelah berpuluh-puluh tahun malang-melintang di Kuala Lumpur, Lat merasa perlu balik ke kampung, Ipoh, untuk berbagai alasan. Di antaranya adalah memberi ruang bagi kemunculan kartunis-kartunis muda dan yang jelas suasana di kampung lebih nyaman : udara jauh lebih sehat dan sosialisasi dengan warga lebih hangat ; mungkin spirit kemanusiaan dan ketulusan lebih terasa daripada di kota.

Sesuatu yang menggembirakan, di luar dari proyeksi nakal saya, diskusi dua jam itu tak sengaja dapat menghadirkan simpul-simpul penting mengenai sosok manusia yang bernama kartunis. Khususnya yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi. Dari simpul-simpul tersebut bila disederhanakan, dalam diri seorang kartunis (tak peduli apakah ia seorang gag cartoonist, social cartoonist maupun political cartoonist) terdapat tiga elemen kompetensi yang satu dengan lainnya saling terkait.

Elemen pertama, kompetensi di bidang teknis/artistik
Seorangkartunis dengan sendirinya memiliki kemampuan teknis menggambar yang memadai. Dengan kata lain bila ia menggambar seekor kuda, maka siapapun yang melihat gambar itu akan mengatakan itu gambar kuda. Bukan kerbau, sapi atau jerapah. Bila seorang kartunis bermaksud menggambar kuda, tetapi yang tampak oleh orang banyak bukan gambar kuda, maka si kartunis dianggap gagal berkomunikasi. Itu sama dengan dia belum memiliki kompetensi di bidang teknis/artistik. Dan komunikasi kepada publik akan semakin kacau bila ternyata dari gambar yang menyimpang itu ketambahan lagi dengan kata-kata, bayangkan, betapa carut-marutnya kemungkinan komunikasi yang bisa terjadi kemudian.

Elemen kedua, kompetensi di bidang pengamatan
(jurnalis, kolumnis,
penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya)
Seorang kartunis
dengan sendirinya adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam mengamati berbagai masalah secara cermat dan akurat. Khususnya menyangkut detail dan substansi. Setelah diendapkan beberapa saat, kemudian ia membuat analisis-analisis. Membuat pertanyaan dan asumsi. Bahan berupa analisis ini untuk sementara dibiarkan menggantung menunggu proses yang ketiga.

Elemen ketiga, kompetensi di bidang lelucon (humoris/kreatif)
Seorang kartunis dengan sendirinya adalah seseorang yang memiliki sense of humor yang baik dan mampu menghasilkan lelucon yang baik pula; ia mampu melihat persoalan dari sudut pandang yang beda daripada masyarakat umum. Beda dalam konteks ini tidak sekadar lain, namun beda yang memiliki sejumlah alasan yang dapat dibenarkan.
Seperti karikatur karya GM Sudarta (Lihat Kompas, 12 Juli 2003), seorang narapidana berpakaian loreng duduk di singgasana nomor satu negeri ini dengan senyum lugu dan wajah tak berdosa. Proyeksi karikatur yang nyeleneh dan mengagetkan itu, tidak sekadar beda tapi berlandaskan alasan-alasan yang reasonable. Bila kurang jelas, buka UU Pilpres.

DI sisi lain, banyak rekan wartawan yang dengan penasaran mempertanyakan tentang sosok yang bernama kartunis itu. Bila dilihat sekilas performance mereka tenang, kadang justru cenderung pendiam, bahkan ada yang sangat pemalu, tidak suka sosialisasi dengan orang-orang yang belum dikenalnya secara mendalam. Tetapi, ketika tiba giliran mereka menggambar kartun, di situlah muncul ide-idenya yang edan dan ugal-ugalan. Ada virus apa sebenarnya di otak kartunis itu?
Pertanyaan bernada seloroh ini mudah-mudahan agak terjawab oleh asumsi tiga elemen di atas.

Bila dipikir-pikir, demikian seorang teman kartunis ngudarasa, mungkin masih lebih enak menjadi pelukis. Tugasnya adalah melukis. Boleh tidak peduli pada masalah-masalah terkini yang lagi hangat atau sudah basi. Boleh melukis yang obyeknya tidak harus lucu; sebaliknya, bebas mengungkapkan hal yang membuat orang bersedih hati.
Begitu juga dengan jurnalis, kolumnis, penulis, cerdik cendekia, ilmuwan dan sebagainya. Boleh bekerja dalam jalur job-nya tanpa perlu harus pintar menggambar atau melucu. Tak terkecuali pelawak atau humoris, tidak perlu harus pintar menggambar. Bukankah itu berarti bahwa secara esensial, kerja sebagai kartunis adalah kerja yang tidak ringan. Ia harus menggabungkan sedikitnya tiga kompetensi sekaligus, sebagaimana dijelaskan di atas.

Mengingat keadaan ini, saya sering bertanya-tanya dalam hati, inikah yang menjadi penyebab mengapa jumlah kartunis negeri ini dari waktu ke waktu terus menyurut? Apalagi bila dibandingkan dengan jumlah pelukis, yang angkanya dari waktu ke waktu justru makin bertambah.
Catatan sementara yang ada pada saya, para kartunis yang tidak pernah lagi mengartun di antaranya adalah: Harmoko, Harry Pede, Oet, Tris Sakeh, SNS, Meru Sudarta, Julius Pour, T Nurjito, Gun R, Mr Zaggy, Jaya Suprana, Ramli Badrudin, Basnendar, Anwar Rosyid, Odios (saya sendiri), dan masih banyak rekan lain di Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Semarang, Solo, Surabaya, dan Bali, yang namanya tidak dapat saya sebutkan satu per satu.

Sementara itu, kartunis-kartunis Indonesia yang masih setia berkarya, mungkin cukup banyak, namun relatif sedikit bila dibandingkan jumlah pelukis/perupa yang tumbuh di negeri ini. Trio jagoan Indonesia yang sudah tidak asing lagi dan belum tergoyahkan eksistensinya adalah: GM Sudarta, Dwi Koendoro dan Pramono. Ada satu kartunis kawakan, yang lebih senior dari mereka bertiga, kendati tidak spesifik memiliki media (terutama di zaman Orde Baru) namun tetap berkarya, yaitu Sibarani. Almarhum Arwah Setiawan menempatkan Sibarani sebagai salah satu sosok karikaturis paling fenomenal pada zamannya.

Dari angkatan yang lebih muda lagi, memang terdapat nama-nama seperti: Non-O, Gesi Goran, Gatote, Rahmat Riyadi, T Riyadi, tetapi nama-nama seperti Priyanto S dan T Soetanto dari Bandung yang karyanya banyak merajalela di media Jakarta, siapa bisa menafikan kehadiran mereka? Di kawasan lain, kartunis Jitet Koestana yang sering menang lomba di luar negeri, Jango yang punya komunitas penerbitan kartun (humor) di Bali, Tony Tantra yang terus berkarya dalam kemisteriusannya, M Najib, yang lugu dan lucu seperti "Inul", Ifoed yang rajin mengembangkan kartun ke advertensi, adalah fenomena- fenomena baru yang tak dapat dianggap enteng kiprahnya. Dalam perkembangannya, kartun ternyata tidak hanya menjadi warga dari seni grafis. Ia kini telah berkembang ke seni hias kaus, interior, instalasi, animasi dan bukan tak mungkin bermutasi ke seni murni.

PADA akhirnya, baik GM Sudarta maupun Lat yang siang itu 12 Juli 2003 menjadi "ayah" bagi Oom Pasikom dan Si Mamat (Kampung Boy) harus rela buka kartu dan berendah hati bahwa hal-hal yang berkaitan dengan sistematika berpikir, proses kreatif dalam berkarya, metodologi kerja dan motivasi pilihan profesi, tetap perlu mengaitkannya dengan tatanan sosial dan sistem nilai yang berlaku di masyarakat. Wajarlah bila dalam berkarya mereka harus mengkalkulasi itu semua supaya karya dan pesannya dapat efektif sampai ke sasaran yang dituju. Artinya, bahwa kartun yang berhasil itu indikasinya adalah dapat membuat senang si pembuat, yang membaca/menonton dan pihak yang dijadikan obyek dalam karikatur/kartun. Dengan kata lain, untuk sampai pada situasi itu, mereka perlu menempatkan strategi self censorship sedini mungkin. Setidaknya sikap itu yang diperlihatkan GM Sudarta dan Lat tanpa tedheng aling-aling. Tanpa perlu merasa kurang heroik. Toh, bila seorang kartunis berhasil menyampaikan early warning, pesan atau peringatan awal atas suatu masalah atau persoalan, sebenarnya, itu sudah lebih dari cukup. Bahkan, GM Sudarta mengutip salah seorang "suhu" institusi pendidikan tinggi kartun di Jepang yang berkata, bila sebuah kartun sudah mampu berbisik kepada pembacanya, itu sesungguhnya, sudah tergolong berhasil.

Begitulah. Pertanyaannya lagi, wajarkah bila kita menuntut peran kartunis terlalu besar dan berlebihan, misalnya berharap mereka menjadi ujung tombak demokrasi, agen perubahan atau revolusi, lalu apa peran anggota DPR yang terhormat dan bergaji besar itu?


Darminto M Sudarmo, Pengamat Humor, Tinggal di Jakarta

sumber : http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/20/seni/436069.htm
0 comments

Hunting foto ke Lembang. Ketemu bunga ini...tapi nggak tahu namanya.
Diolah di photoshop ditambahin efek blur plus koreksi warna.
Ada yang bisa bantu namanya bunga apaan?

Kamera : Sony Cybershot DSC-F717
Lensa : Carl VS 2-2,4/9,7-48,5
Film : Digital
Kecepatan : A
Diafragma : A
2 comments













Bamboo is a favorite subject for Chinese painting and, along with orchids, plum blossoms and chrysanthemums, is one of the 'Four Gentlemen'

Bamboo symbolizes longevity and courage because it does not break even in strong wind.
It is flexible, yet sturdy and evergreen.



Sumber tulisan : milis Tanah Karo, gambar : Wikipedia
Sepertinya si pengirim CoPas dari sumber lain hanya saja tak disebutkan sumbernya.

Renungan yang menarik. Mengajak untuk tak cepat berputus asa, tak mudah menyerah.
Sang waktu pun tak mampu menghalangi kalau asa sudah membara.
Yang penting bara itu jangan sampai padam.

Silahkan disimak dan direnungkan...


--------------------------------------------------


Alkisah, tersebutlah seorang pria yang putus asa dan ingin meninggalkan segalanya. Meninggalkan pekerjaan, hubungan, dan berhenti hidup.
Ia lalu pergi ke hutan untuk bicara yang terakhir kalinya dengan Tuhan Sang Maha Pencipta.

"Tuhan," katanya. "Apakah Tuhan bisa memberi saya satu alasan yang baik untuk jangan berhenti hidup dan menyerah?"

Jawaban Tuhan sangat mengejutkan, "Coba lihat ke sekitarmu. Apakah kamu melihat pakis dan bambu?".

"Ya," jawab pria itu.

"Ketika menanam benih pakis dan benih bambu, Aku merawat keduanya secara sangat baik. Aku memberi keduanya cahaya. Memberikan air.
Pakis tumbuh cepat di bumi. Daunnya yang hijau segar menutupi permukaan tanah hutan.

Sementara itu, benih bambu tidak menghasilkan apapun.

Tapi Aku tidak menyerah.

"Pada tahun kedua, pakis tumbuh makin subur dan banyak, tapi belum ada juga yang muncul dari benih bambu.

Tapi Aku tidak menyerah.

"Di tahun ketiga, benih bambu belum juga memunculkan sesuatu.

Tapi Aku tidak menyerah.

Di tahun ke-4, masih juga belum ada apapun dari benih bambu.

Aku tidak menyerah," kataNya.

"Di tahun kelima, muncul sebuah tunas kecil.

Dibanding dengan pohon pakis, tunas itu tampak kecil dan tidak bermakna.

Tapi 6 bulan kemudian, bambu itu menjulang sampai 100 kaki.

Untuk menumbuhkan akar itu perlu waktu 5 tahun. Akar ini membuat bambu kuat dan memberi apa yang diperlukan bambu untuk bertahan hidup.

Aku tak akan memberi cobaan yang tak sangup diatasi ciptaan-Ku,"kata Tuhan kepada pria itu.

"Tahukah kamu, anak-Ku, di saat menghadapi semua kesulitan dan perjuangan berat ini, kamu sebenarnya menumbuhkan akar-akar?"

"Aku tidak meninggalkan bambu itu. Aku juga tak akan meninggalkanmu."

"Jangan membandingkan diri sendiri dengan orang lain," kata Tuhan.

"Bambu mempunyai tujuan yang beda dengan pakis. Tapi keduanya membuat hutan menjadi indah."

"Waktumu akan datang. Kamu akan menanjak dan menjulang tinggi."

"Saya akan menjulang setinggi apa ?" tanya pria itu.

"Setinggi apa pohon bambu bisa menjulang?" tanya Tuhan

"Setinggi yang bisa dicapainya," jawab pria itu.

"Ya, benar! Agungkan dan muliakan nama-Ku dengan menjadi yang terbaik, meraih yang tertinggi sesuai kemampuanmu," kata Tuhan.

Pria itu lalu meninggalkan hutan dan mengisahkan pengalaman hidup yang berharga ini.


0 comments

Diambil dari http://karoguide.blogspot.com
Besok pagi tanggal 31 Oktober 2008, 07.00 WIB saya menuju ke barat. Tepatnya belahan barat Indonesia. Lebih tepatnya lagi Medan, Sumatera Utara. Tanah kelahiran saya.
Tapi kali ini tujuan saya selama 3 hari ini bukan ke Medan tapi ke Desa Bintang Meriah, Tanah Karo (Kabupaten Karo). Tetap saja saya pasti menyempatkan diri singgah ke rumah orang tua saya di Medan sengihnampakgigi.

Desa Bintang Meriah, terletak di Kecamatan Kutabuluh, masuk wilayah Kabupaten Karo, SUMUT, biasa dikenal dengan Tanah Karo. Mau tahu lengkapnya silahkan klik di sini. Di negara kita ini Karo dikenal sebagai salah satu sub suku Batak. Batak Karo tepatnya. Walaupun begitu orang-orangnya lebih suka disebut Orang Karo daripada Orang Batak senyumkenyit Kenapa begitu? Panjang dan rumit ceritanya..nantilah lain waktu soalnya melibatkan sejarah.

Di desa inilah Ibunda tercinta dilahirkan. Almarhum Ayahanda tercinta juga asli orang Karo hanya saja dilahirkan di tempat yang berbeda. Desa Rumah Kinangkung, masuk daerah Sibolangit sebuah kecamatan di Kabupaten Deli Serdang, SUMUT. Berbatasan dengan Kabupaten Karo. Lengkapnya klik juga di sini. Otomatis tempat kelahiran Ayahanda menjadi kampung halaman saya walaupun saya dilahirkan bukan di sana tapi di Medan. Marga yang saya sandang juga diturunkan dari Alm. Ayahanda tercinta. Dan akan diturunkan terus sampai ke anak cucu. Begitulah tradisi orang Batak pada umumnya.

Dari kota Medan menuju desa Bintang Meriah membutuhkan waktu sekitar 3 jam dengan kenderaan roda empat (Mau lihat peta wilayahnya seperti apa? Klik lagi deh di sini. Ingat patokannya Medan-Kutabuluh) Lalu ngapain sih jauh-jauh ke sana? Keluarga besar mengadakan acara Ngampeken Tulan-tulan, mmm...sederhananya artinya upacara adat pemindahan tulang belulang kakek-nenek saya. Penjelasannya bisa juga dilihat disini. Karena ini upacara besar seluruh keluarga besar dimanapun berada kalau memungkinkan diminta untuk hadir. Itulah alasannya saya jauh-jauh kesana.

Yang pasti bakalan banyak objek foto menarik di sana. Mudah-mudahan nanti saya bisa bawa oleh-oleh foto yang bisa di-share disini. Kalau oleh-oleh kulinernya gimana nge-share-nya disini ya? sengihnampakgigi
6 comments

Diambil dari Wikipedia dan sedikit olahan Photoshop

Di jalanan, dua huruf ini pasti nggak asing buat para driver dan biker. Biasanya dua huruf ini disertai dengan tanda silang dan hati-hati kalau melanggarnya, pasti kena semprit.

Buat orang kantoran, dua huruf ini juga menggetarkan. Nggak pake tanda silang tapi justru digabung S dan P, jadinya SP. Surat Peringatan. Awas, jangan sampai 3x. Bisa-bisa dapat SP berikutnya...Surat Pemecatan.

Itulah Rambu-rambu atau Sign System, traffic sign kalau di jalanan. Setiap rambu pasti ada hukumnya kalau dilanggar dan seharusnya setiap rambu itu bukan untuk dilanggar sengihnampakgigi tapi untuk dipatuhi.

Di dunia ini juga ada banyak 'rambu-rambu' yang harusnya dipatuhi. Tapi seringkali justru dilanggar sembari celingak-celinguk lihat kiri-kanan, ada yang lihat nggak ya...ada petugas nggak ya... Padahal kalau kita semua sadar diri patuh pada rambu-rambu yang ada, yakinlah dunia ini akan aman dan tenteram. Nggak perlu ada SP, 'surat peringatan' bencana alam, banjir dan gempa bumi.

Apa nggak takut dapat SP berikutnya, 'surat pemecatan'...
4 comments


Sebenarnya 2 kartun ini dan ada beberapa lagi yang lain untuk ikutan lomba Digital Media International Cartoonet Contest 2008. Penyelenggaranya irancartoon.com, cuma sayang sekali...seribu kali sayang nangih, saya telat ngirimnya. Jadi dipajang disini sajalah... (mohon maaf kalau penampilannya rada 'diganggu' proteksi 'hak milik' kenyit)


Sedikit cerita untuk kartun di atas, ini terjadi di dunia maya, dunia chat tepatnya. Di dunia maya itu memang kita harus berhati-hati dengan identitas. Pria bisa mengaku wanita dan juga sebaliknya. Yang jadi masalah kalau mau kopi darat...tak sesuai kenyataan.
2 comments
(Sumber gambar : http://bandung.panduanwisata.id)

Buat yang belum tau Baksil... Baksil itu singkatan dari Babakan Siliwangi, letaknya di kota Bandung.
Tak jauh dari Institut yang logonya ada gajahnya (kalau yang ini pasti tau kan ya...).

Sekarang ini warga Bandung lagi resah dan bersedih hati karena hutan kota Babakan Siliwangi akan dikonversi menjadi kawasan komersial. Duh...ada apa sih dengan pemimpin-pemimpin kota ini? Hutan kecil, dari sedikit area hijau yang masih ada mau dibabat. Mau jadi apa Bandung tercinta ini? Sudah jalanan macet, penuh sampah, panas...semakin eungap saja ntar Bandung ini.

Wahai...bapak-bapak pemimpin jangan hanya berpikir pendapatan dan keuntungan kota Bandung saja donk. Apa belum cukup mall yang bertebaran yang ada sekarang?

Wahai...urang Bandung, penduduk kota Bandung, kalau bapak-bapak pemimpin kita seperti itu kita jangan ikut-ikutan seperti itu ya. Jangan salahkan Pilkada yang sudah lewat. Nggak salah koq kita sudah memilih. Hayu atuh kita bergerak bersama, paling tidak kalau anda tidak setuju Babakan Siliwangi tinggal nama salurkan pendapat anda di petisi online Save Babakan Siliwangi

Wahai...simpatisan kota Bandung, dukung kita juga donk (kaya reality show aja...). Kan enak setiap Sabtu-Minggu anda berkunjung anda mendapatkan Bandung yang segar dan sejuk (walaupun kami ketiban macetnya..).

Wahai...para bloger sebarkan petisi ini ya. Mari bergerak bersama seperti bagjapatria.

Dan yang terakhir...jangan cuma berteriak euy... Bertindak walau kecil sekalipun ada gunanya. Salah satunya jangan buang sampah sembarangan lah. Suka sedih kalau lagi di jalan naik motor liat bungkus makanan atau teman-teman sejenisnya melayang dengan nyamannya dari jendela mobil atau angkot. Atau puntung rokok yang juga mendarat dengan mulus di aspal dari tangan teman-teman biker. Saya bukan aktifis lingkungan hidup, saya sedih kalau Bandung dianugrahi julukan 'kota sampah'.

Nggak perlu demo-demoan, cukup dengan memasukkan bungkus makanan, puntung rokok dan teman-teman sejenisnya itu pada tempatnya.

Gampang kan.
6 comments
Yang diatas ini juga kutipan. Diambil dari...tuh, alamatnya ada tercantum.

Asli kutipan, tapi isinya menarik, mengajak kita untuk menulis. Manfaatnya ternyata banyak. Nggak nyangka. Kalau begitu ayo ngeblog, ngeblog kan menulis juga. Asyiknya ngeblog ya begitulah asyiknya menulis.


AYO MENULIS

"Orang yang memiliki kebiasaan menulis memiliki kondisi mental lebih sehat dibandingkan dengan mereka yang tidak melakukannya."
-- James Pennebaker, Ph.D., dan Janet Seagal, Ph.D., University of Texas, Austin, dalam Journal of Clinical Psychology.

"AYO BELAJAR!", begitulah perintah orang tua terhadap anaknya ketika sang anak ketahuan sedang asyik menonton televisi atau bermain game.
Kalimat generik dari orang tua mana pun, bahkan hal serupa pernah kita alami ketika kita masih kanak-kanak. Namun, rasanya kita jarang mendengar atau bahkan tak pernah ada orang tua yang menyuruh anaknya untuk menulis?
"Ayo menulis!", pernahkah Anda mendengarnya?


Betul, menulis. Tak lazim memang perintah itu. Bagi anak-anak yang masih terbatas kemampuan menulisnya pasti akan mendelik. "BT ah" mungkin kalimat itu yang akan keluar dari mulutnya. Lagi pula, jangankan anak-anak, orang dewasa pun pasti akan kesulitan untuk
diberi perintah seperti itu.

Menulis?

Betul, menulis. Sederet kalimat akan meluncur. Bila semua orang bisa menulis, tentu negeri ini akan penuh dengan karya sastra. Mungkin juga sastra tidak akan ada lagi, kalau semua orang bisa menulis, apalagi dengan kalimat yang indah dan berirama layaknya pujangga.
Menulis memerlukan keterampilan tersendiri.
Benarkah demikian?


Tidak juga sebenarnya. Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan kegiatan tulis-menulis, bahkan secara menyenangkan. Tak ada keterampilan atau keahlian khusus dalam menulis. Anda mungkin mengenal nama Rachmania Arunita. Dia adalah perempuan muda pengarang novel remaja best seller, `Eiffel, I'm in Love'. Rachma mengaku pada awalnya tidak suka menulis. Tapi ketika guru bahasa Prancis mewajibkan murid-muridnya untuk membuat sebuah karangan, dia mulai ketagihan menulis. Rachma berkisah, awalnya ia sering melakukan plagiat alias menjiplak tapi ketahuan. Rachma pun kena omel dan dihukum untuk membuat PR mengarang. Tak diduga, hasil karangannya mendapat acungan jempol gurunya bahkan dipuji di depan kelas. Mulai dari situ Rachma pun ketagihan menulis hingga akhirnya ia menelurkan novelnya yang ternyata meledak di pasaran. Bahkan kemudian diangkat dalam film dengan judul yang sama.

Persoalan lain yang kerap mengganggu proses menulis adalah soal mood. Lainnya? Fasilitasnya tidak tersedia dengan lengkap, seperti komputer, laptop atau lainnya. Ah, itu sih alasan klasik. Lihatlah Agatha Christie, pengarang novel misteri terkenal. Anda mungkin bisa membayangkan susahnya orang menulis saat itu, di zaman tahun 1920-1930an. Namun dengan segala keterbatasan peralatan, lahir novel-novel berkelas dunia dari Agatha Christie, Ngaio Marsh, Sir Arthur Conan Doyle dan seabreg pengarang top lainnya.

Jadi sesungguhnya yang paling penting untuk menulis ialah niat dari awalnya. Kesungguhan tanpa dimulai dengan niat pada awalnya, tentu tak akan terlaksana dengan baik. Orang bijak bilang bahwa cara yang paling sederhana untuk menumpahkan isi hati dan pikiran adalah dengan menulis, karena bila tidak, ia seperti sebuah saluran, suatu saat tersumbat dan meledak.

Seorang wanita bernama Dewi Hermayanti dalam suatu milis menceritakan unek-uneknya.
Dewi mengatakan, "Kadang-kadang perlu
rasanya untuk mengeluarkan apa yang ada di hati lewat tulisan. Apalagi rasanya sudah menyesak di dada. Cuma apa yang harus ditulis, bingung tidak tahu mau nulis apa, tapi rasanya memang perlu menulis. Aneh memang. Tapi begitulah, Andai saja otak kita punya tombol print mungkin gampang saja mengeluarkan isi otak kita. Tinggal pencet print terus select subject, langsung keluar deh apa yang mau kita ungkapkan dalam tulisan. Sayang, otak kita cuma bisa memerintah si tangan untuk bergerak sesuai yang diperintahkan."

Terkesan dengan unek-unek tersebut, Pak Hernowo dari Penerbit Mizan, menanggapi posting Ibu Dewi. Dia pernah melakukan studi kecil-kecilan tentang kegiatan menulis. Selama melakukan studi itu, nah ini yang penting, ia kemudian bertemu dengan Psikolog Pennebaker yang menganggap menulis dapat mengatasi depresi. Menulis itu dapat menyehatkan tubuh dan jiwa. Pennebaker meniru tradisi confession dalam agama Katolik dan menerapkannya pada pembuatan catatan harian.
Bahkan seorang penulis kondang, Fatima Mernissi, juga bilang bahwa menulis setiap hari dapat mengencangkan kulit wajah. Hernowo pun bercerita bahwa ia bertemu dengan ahli linguistik bernama Dr. Stephen D. Krashen. Penelitiannya menunjukkan bahwa menulis dapat memecahkan problem-problem diri. Katanya, menulis itu menata pikiran.
Jadi, kalau kita dapat menata problem kita, bisa jadi
problem kita bisa hilang. Dan dia juga membuktikan bahwa menulis dan membaca itu tidak dapat dipisahkan. Membaca itu memasukkan, dan menulis itu mengeluarkan. Demikian Hernowo menjelaskan dalam postingnya.

Keampuhan menulis tidak saja dialami Hernowo dalam penelitian kecil-kecilannya itu. Dari seberang sana, tepatnya di Amerika Serikat, Joshua M. Smyth, psikolog dari Syracuse University lebih jauh lagi menyatakan menulis dapat menghasilkan perubahan pada sistem imunitas dan hormonal dalam merespons beban stres, dan meningkatkan hubungan dan kemampuan kita menghadapi stres.

Contohnya, ada juga. Dia adalah Debra Van Wert, 44 tahun, dari Rochester, New York, setelah menderita Pre-Menstrual Syndrome (PMS) atau sindrom menjelang menstruasi selama lebih dari satu dekade, Debra mulai mencatat gejala-gejala yang dialami tubuhnya. Debra mengatakan, "Dengan membuat catatan, saya dapat mengantisipasi fase-fase hormonal dan mengidentifikasi minggu kapan saya berada pada kondisi paling fit dan paling buruk."

Kegiatan menulis tidaklah dimaksudkan untuk menjadi sastrawan besar, tapi paling tidak punya manfaat bagi kesehatan. Sebagaimana dikutip dari Majalah Reader Digest Indonesia, April 2005, berikut adalah sejumlah keuntungan dari menulis:

MENGURANGI BERAT BADAN.
Para peneliti dari Women's Health
Initiative menarik kesimpulan bahwa catatan harian tentang makanan yang dikonsumsi membantu menimbulkan kesadaran tentang konsumsi kalori dan asupan lemak. Dan jika Anda mengetahui seberapa banyak yang telah dilahap, akan lebih mudah menguranginya.

MENINGKATKAN KUALITAS TIDUR.
Ilmuwan di Temple University menemukan
bahwa wanita yang menuliskan pengalaman traumatisnya – seperti pemerkosaan atau kecelakaan lalu lintas yang parah - ternyata jarang
mengalami sakit kepala, susah tidur, dan gejala depresi dibandingkan mereka yang tidak mau menuliskannya.

MELAWAN PENYAKIT.
Berdasarkan sebuah penelitian pada tahun 2002 di
Ben-Gurion University, Israel, disimpulkan bahwa mereka yang menuliskan sebuah kejadian yang menjadi beban pikiran, akan mengurangi frekuensi kunjungan mereka ke klinik pengobatan selama l5 bulan ke depan.

MENGURANGI STRES.
Sebuah studi di Chicago Medical School menemukan
bahwa ketika penderita kanker yang kurang diperhatikan keluarganya menuliskan tentang penyakit yang diderita selama 20 menit setiap hari, mereka jadi jarang mengalami stres selama enam bulan berikutnya.

Nah, mengapa Anda tidak menyiapkan pulpen dan kertas untuk mulai menulis sejak sekarang. Karena ternyata menulis bukan hanya menyenangkan, tapi juga menyehatkan lahir dan batin. Bahkan bisa jadi Anda dapat menangguk untung karenanya. Dan, jangan lupa, bila suatu saat Anda sakit, setidaknya satu resep sudah di tangan: "menulis". Ini bukan sekedar lelucon. Penelitian telah membuktikannya. So, tunggu apa lagi? Ayo Menulis!

Sumber: "Ayo Menulis!" oleh Sonny Wibisono, penulis, tinggal di Jakarta.
8 comments
Diambil dari mcdonaldbabyblog.blogspot.com
Bangau ini berkunjung lagi ke keluarga saya...senyumkenyit
Jagoan kecilku bakal punya adek.

Hari senin yang lalu saya dan my lovely wife berkunjung lagi ke dokter kandungan, setelah beberapa waktu mual-mual dan nggak enak badan. Seperti lazimnya kalau kita datang mendadak ke dokter yang satu ini (prakteknya di jalan Supratman, Bandung) tanpa mendaftar jauh-jauh hari sebelumnya maka sudah dipastikan anda harus setia menanti...semampunya dan sesabar-sabarnya...sengihnampakgigi Kita yang datang langsung dan daftar saat itu juga (jam 7 malam) mendapat giliran bertemu sang dokter sekitar jam...11 malam!
Singkat cerita setelah timbang berat badan dan periksa sana-sini, sang dokter bilang, "oh ini, sudah ada nih...masih kecil seukuran kepala jarum pentul. Kondisinya baik, di dalam rahim kok. 2 minggu lagi datang lagi ya." Puji Tuhan, walaupun ini kali yang kedua tetap saja saya deg-degan.
Awal yang baik, selanjutnya perjuangan selama 9 bulan terutama ibunya. Ajaib Tuhan ya, bayangkan dari sebesar kepala jarum pentul sampai sebesar bayi di dalam perut.
Thanks GOD. Sampai bertemu 9 bulan lagi di dunia ini my son...eh...my daughter...ah, apapun engkau tetap buah hatiku...
0 comments

Iseng-iseng merenung tentang 17 Agustusan...tentang kemerdekaan.

Benarkah kita sudah merdeka? Atau cuma sekedar nama saja seperti kartun di atas...sengihnampakgigi
Dari penjajahan negara lain tentu saja iya. Tetapi bagaimana dari penjajahan bangsa sendiri?
Ah, masa sih? Tidak percaya? Coba saja renungkan benarkah kita sudah merdeka di negara ini, merdeka berpendapat, merdeka beribadah, merdeka...bebas dari segala bentuk tekanan dan intimidasi.

Benarkah kita sudah merdeka?

Merdeka yang bertanggung jawab tentunya (halah!), maksudnya merdeka yang tidak kebablasan. Soalnya kebiasaan kita juga, kalau sudah dengar merdeka berarti bebas, bebas segala-galanya sampai kebablasan.
Merdeka itu ternyata ada rambu-rambunya juga lho...senyumkenyit

Jadi sekali lagi, benarkah kita sudah merdeka?
4 comments



Sepenggal cerita yang tertinggal menjelang 17 Agustus 2008 yang lalu...

Maksud hati syukuran perayaan 17 Agustusan...eh...malah dapat musibah! Keracunan!
Dalangnya atau penyebab utamanya adalah...nasi kotak!
Bagaimana ceritanya? 2 hari sebelum perayaan kemerdekaan RI yang ke 63, tepatnya 15 Agustus 2008, perusahaan tempat saya bekerja mengadakan syukuran 17 Agustus. Biasanya, tradisi tiap tahun, disertai dengan perlombaan. Biasalah, standart 17 Agustusan. Tapi kali ini, tahun ini, tanpa perlombaan, hanya syukuran dengan makan siang bersama, gratis!. Nasi kotak yang isinya nasi kuning, daging ayam, tumis bihun, dan sambel oncom. Ada juga yang isinya abon, bihun, perkedel, telor, dan sambel oncom.
Kejadiannya cepat, pukul 11.30 nasi kotak dibagikan bertahap buat 1000 orang. Sebelumnya ada doa ucapan syukur dulu buat kemerdekaan yang sudah kita rasakan selama 63 tahun. Tak lama kemudian usai menyantap makanan banyak karyawan yang mulai merasakan mual-mual dan pusing. Bahkan ada yang muntah dan pingsan. Data resminya sih total 150 orang yang tumbang (info dari HRD). Kalau baca di koran dan TV berbeda-beda jumlahnya, ada yang bilang 125 orang, ada yang 100 orang.

Untungnya saya tidak apa-apa, baik-baik saja, sepertinya tidak semua nasi kotaknya tercemar, hanya beberapa.
1 comments


Asli bukan karya saya! Saya ambil gambar ini dari web-nya 'komunitas terbesar Indonesia' (tau kan ya...). Di posting disana. Kalau keterangan gambarnya seperti tertera di pojok kanan bawah. Posted at www.ellf.ru, sempat coba-coba jalan-jalan ke sana, banyak foto & gambar bagus tapi rada berbau 17thn ke atas...hehehe...

Tapi saya bukan mau cerita soal itu. Saya kagum lihat hasilnya, mula-mula malah nggak percaya itu sketsa pensil. Hebat skill sketsa pensilnya!
Tapi...kata seorang teman, sekarang sih sudah nggak jaman modal skill doang! Skill tanpa kreatifitas ya mati...begitu katanya... Bener juga sih, hasilnya ya seperti seniman jalanan. Skillnya sudah pasti tidak diragukan. Pernah lihat kan karya-karya seniman jalanan (street artist) kan? Bagus banget. Kalau di Bandung biasanya mangkal di jalan Braga, nggak tau sekarang masih ada atau nggak. Atau seniman yang biasanya suka menawarkan jasa lukis wajah. Bagus-bagus kan karyanya. Tapi penghargaannya ya di jalanan.

Nah...kalau kreatif saja tanpa modal skill...bisa nggak sih?

Ngomong-ngomong soal kreatif, kota tempat saya berdomisili sekarang ini, yang ngakunya 'parisj van java', diakui banyak kalangan kota penuh kreatifitas mulai dari kuliner-nya sampai clothing (distro). Betul kan saudara-saudara.... Bandung euy!

Begitulah, bukan bermaksud merendahkan salah satu profesi tapi hanya sekedar obrolan menjelang makan siang (dasar orang kantoran!)...hehehe...
1 comments
Aku menulis...lebih tepatnya mencoba menulis. Selama ini asyik sekali lihat buku-bukunya Pramudya Ananta Toer, Umar Kayam, YB Mangunwijaya sampai buku-bukunya John Grisham, Michael Crichton, Anne Rice, beberapa bukunya nongkrong di lemari buku saya (narsis mode on)...hehehe...

Nah, akhir-akhir ini entah kenapa saya ingin sekali menulis, awalnya menulis apa sajalah dan dimana sajalah, salah satunya ya disini. Kedepannya sih...my dream...siapa tahu buku-buku saya bisa nangkring di rak buku toko-toko buku terkemuka di kota anda...huehehehe...

Yups...mudah-mudahan nantinya saya jadi rajin upload tulisan-tulisan saya disini...
3 comments




Ikutan lomba kartun ini, nggak terlalu berharap bisa menang. Lebih mengasah kemampuan.
Ini yang kedua kali ikut lomba kartun internasional. Berturut-turut 5 gambar yang saya sertakan di lomba ini.

International Gaza Cartoon (By E-mail) Contest-2008

Iranian House of Cartoon Organizes with Museum of Palestine Contemporary Arts and collaboration of syriacartoon
Theme: DEATH IN GAZA, PALESTINIAN PEOPLE ARE DYING, HELP US!


3 comments